Kapten
Haddock, tokoh dalam serial Tintin pernah menggerutu tentang orang yang gemar
naik gunung “Buat apa naik gunung kalau
nanti harus turun juga,” begitu omelnya tidak mengerti. Bagi orang awam
kegiatan naik turun gunung, mengarungi jeram, menelusuri lorong gelap abadi,
dan memanjat tebing memang dipandang kegiatan yang sia-sia. Apalagi seringkali
nyawa sebagai taruhannya, tak heran kalau omelan Kapten Haddock terasa mewakili
pandangan awam.
Kendati
begitu, kegiatan petualangan di alam bebas justru semakin berkibar di persada
tercinta ini. Sebut saja ekspedisi sevent summit, ekspedisi Leuser, ekspedisi
Memberamo dan masih banyak lagi. Bahkan peminat aktivitas yang sepi tepuk tangan
penonton ini semakin menjamur di Nusantara.
Lantas,
apa sih yang mendorong para petualang mengeluti dunianya, hingga mereka cuek
saja terhadap pandangan awam ? Sebenarnya
para petualangan itu pada awalnya berangkat dari rasa iseng belaka, ikut-ikutan
dan sekedar pemuas rasa ingin tahu mereka. Namun apa pun awal perkenalan dengan dunia petualangan,
yang jelas mereka langsung ketagihan dengan dunia itu. Seolah-olah alam bebas
bagai magnit yang terus menarik-narik mereka untuk kembali berpetualang kembali.
Biarpun
kita mendaki gunung yang sama, pengalaman yang kita peroleh selalu berbeda.
Artinya para petualang selalu mencari
hal baru / tantangan baru dan bagaimana cara mengatasi tantangan itulah
yang menyebabkan mereka selalu kembali ke alam bebas. Selain itu, tentu saja pemandangan
indah yang ditawarkan alam bebas berperan besar dalam membujuk para
petualang untuk turun kembali ke alam bebas.
Pada
mulanya mereka memang mendapat kepuasan setelah menjawab tantangan dan
menikmati panorama indah yang disodorkan alam bebas. Tetapi dari pengalaman
naik turun gunung itu, pelan-pelan mereka mendapat sesuatu yang lebih. Bukan
lagi sekedar kepuasan mencapai puncak ketinggian. Sifat-sifat positif secara perlahan akan terbentuk, sifat-sifat yang
memang diperlukan pada saat-saat bertualang maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sifat-sifat
tersebut misalnya, berani mengambil
keputusan. Di dalam situasi yang kritis, kita dituntut untuk secepat
mungkin mengambil keputusan dengan bijak dan kepala dingin. Dan yang pasti
keputusan tersebut tidak akan membahayakan keseluruhan tim, apalagi pada saat
tersebut kita bertindak sebagai ketua rombongan.
Perselisihan
bukanlah barang asing dalam dunia petualangan. Yang muncul akibat kondisi
mental dan phisik yang sudah letih, sehingga kita mudah sekali tersinggung.
Tapi karena kondisi alam bebas yang menuntut kerjasama, para petualang tidak
bisa mengumbar emosinya begitu saja. Sediki demi sedikit emosi pun dapat dikendalikan, sehingga tidak tertutup kemungkinan
perselisihan terlupakan.
Dengan
naik gunung pun kita berlatih memotivasi
diri. Karena di gunung yang menjadi penghalang utama adalah si pendaki itu
sendiri. Capek-lah, dingin-lah, masih jauh-lah hingga mereka tidak mau
melanjutkan perjalanannya. Kalau saja mereka bisa mengalahkan perasaan itu
dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa sangat berguna pada saat kita menghadapi
masalah pelik.
Begitu
juga dengan sifat cermat membuat
perhitungan dan tidak mudah mengeluh. Kondisi alam bebas yang sulit diduga
menuntut persiapan dan perhitungan yang matang, kalaupun ada yang meleset harus
kita hadapi dengan pikiran dingin dan lapang dada tanpa saling menyalahkan. Di
tengah hutan kita akan mengeluh kepada siapa, toh yang kita keluhi pun dalam
kondisi yang sama, malah-malah keluhan kita bisa mengendorkan mentalitas rekan
lainnya.
Dalam
melakukan aktivitas ini kita dituntut
untuk selalu jujur, misal suatu ketika kita melakukan pendakian seorang
diri dan tidak mencapai puncak. Bisa saja kita bilang sampai dipuncak, toh tak
ada saksi yang akan menyanggahnya, disinilah kita harus jujur, karena
pengalaman yang terjadi mungkin berguna bagi teman-teman yang lain. Bila kita
sudah mencapai tahap ini, puncak bukan lagi menjadi sasaran utama. Begitu pula
dengan kebanggaan yang dulu sampai-sampai bisa menyesakkan dada karena berhasil
menaklukkan sebuah puncak, perlahan akan hilang. Karena yang lebih esensi dalam
tahap ini adalah bagaimana kita mendapatkan tantangan baru dan bagaimana
memecahkannya.
Juga
mengurangi nafsu merusak seperti
corat-coret, memetik edellweis dan membuang sampah sembarangan sudah lama
mereka tinggalkan. Karena motto “ Jangan ambil sesuatu kecuali photo dan jangan
tinggalkan sesuatu kecuali jejak “ sudah melekat pada diri mereka. Tetapi semua
ini adalah proses yang harus dilalui oleh semua orang untuk menjadi pecinta
alam sejati.
Untuk
menjadi seorang petualang yang baik
kita harus mempunyai pengetahuan dan
ketrampilan yang cukup, peralatan dan perbekalan yang memadai, mental dan phisik yang baik serta daya juang
yang tinggi. Tanpa itu jangan harap kita bisa selamat dalam melaksanakan
aktivitas petualangan, sedangkan mereka yang telah cukup memiliki segala
sesuatunya pun terkadang tidak luput dari resiko berat aktivitas out door sport
ini.
Semua
aktivitas yang dilakukan manusia mempunyai resiko, begitu pula dengan aktivitas
petualangan di alam bebas. Ibaratkan seorang pelaut yang harus meninggalkan
keluarganya berbulan-bulan, itu adalah resiko dari profesi keahlian yang
digelutinya. Kaum awam seringkali mengidentifikasikan kegiatan out door sport
sebagai aktivitas yang dekat dengan kematian, padahal para petualang sebetulnya
adalah orang-orang yang menghargai kehidupan, hal ini terlihat bagaimana mereka
menerapkan safety procedure dalam setiap aktivitasnya. Kalau bicara soal
kematian, di atas tempat tidur pun apabila Allah menghendaki, kita semua bisa
mati atau bisa kita lihat bagaimana banyaknya orang mati karena kecelakaan
lalulintas. Jadi tidak perlu takut melakukan aktivitas petualangan di alam
bebas.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّٱلْعَٰلَمِين